Anak Laut
Mungkin ini julukan yang selalu aku ingat, bagaimana tidak setiap berkumpul bersama teman-teman, disekolah, dimadrasah, atau sedang bermain, sebutan untuk “anak laut” selalu terdengar, memang kadang jadi geli sendiri, nama sudah ada malah julukan yang lebih tenar.
hari itu hari minggu, seperti
biasa aku menuju musholla untuk membantu mancari amal jariah, usia ku masih
kelas 3 Sekolah Dasar Pejagalan 011 pagi, saat itu teman teman seusia ku memang
waktunya untuk bermain, namun kesempatan dan kepedulian untuk membantu orang
tua yang notebenenya sebagai ketua pengurus mushola pada saat itu.
"wan ini kotak amalnya,
mau jalan kemana loe ?" itu yang sering disebut oleh pak Encung, salah
satu ustadz yang mengkoordinir anak-anak untuk meminta bantuan dana untuk
pembangunan mushola di pinggir empang Teluk Gong.
"ya paling ke sawah pak,
atau ke pasar" kata ku. Sawah adalah nama tempat yang memang masih banyak
sawah di sekitar RW 12 dan 13, sekarang tidak satu petak sawahpun di lokasi
tersebut, malah sudah ada hotel dan apartemen Teluk Intan yang berdiri megah di
persimpangan dua sungai, yang dahulu kami sebut "Kali Cagak" yang
memang bentuknya seperti dua cagak kayu atau ketapel.
Biasanya kami berempat membawa
dua kotak amal jariah, aku bersama Aep, anak pak Encung, dan satunya Endang
bersama Heri. Saat mencari amal jariah jam 07.00 pagi dan berkeliling dari Rw
12 sampai RW 13 tidaklah terlalu lama hanya 1 sampai 2 jam berkeliling dan
kembali lagi ke musholla sekitar jam 09.00 pagi.
setelah kembali dan menghitung isi kotak
amal jariah yang selalu di kunci sebelum kami berangkat. uang yang didapatkan
pun bervariasi mulai dari Rp 1000 rupiah sampai Rp 2000 rupiah, karena isi
dalam kotak amal jariah terdiri dari uang Rp 5, Rp, 10, Rp, 50, dan Rp 100.
namun kadang bisa mendapatkan uang Rp 500 rupiah dan itu pun jarang sekali aku
dapatkan.
Setiap berkeliling kami berdua
akan mendapatkan upah sekitar Rp 100 sampai Rp 150 rupiah tergantung jumlah
yang didapat. uang inilah yang akan aku jadikan modal untuk membeli senar dan
pancing (mata kail) di jalan Raya Teluk Gong di toko yang pemiliknya yang biasa
di panggil Mpek Ingus.
Toko Mpek Ingus satu satunya toko yang
menjual peralatan pancing dan makanan ayam atau burung, di toko inilah kadang
aku lihat reel atau “gulungan otomatis” sebutan kami saat itu, sedangkan ank
seusia ku selalu mancing dengan alat seadanya, senar merk Damil atau Golden
Fish biasanya yang kami pergunakan, dan digulung menggunakan kaleng bekas susu
kental manis, atau kaleng bekas cat.
Dengan peralatan tersebut, setiap minggu
aku selalu pergi ke laut TPI Muara Angke, saat itu TPI muara angke tidaklah
seperti sekarang ini, dari jembatan patung perahu kita akan melihat langsung
kapal-kapal ikan +3 atau diatau 3GT, berjejer rapi.
Disekitar
kali banyak orang atau anak-anak yang memancing, namun aku selalu pergi
memancing di Batrean atau dam penahan gelombang, batrean lampu hijau adalah
spot yang paling aku suka, dengan modal senar atau line dan di beri timah bulat
atau kerucut serta rigging satu atau dua kumis adalah andalan untuk memancing
dipinggiran beton.
Dengan umpan rebon atau udang yang aku beli di TPI, lengkap
sudah peralatan dan umpan untuk memancing di batrean. Jangan tanya sekarang,
dahulu air di sekitaran Muara Angke sangalah bagus dan jernih, dengan suara deburan
ombak atau alun yang menabrak beton pemecah gelombang, aku selalu merasakan
kedamaian, bahkan ketika umpan aku sambar ikan, kegembiraan semakin menjadi,
ikan tanda-tanda atau tompel ukuran 4 sampai 5 jari orang dewasa yang sering
menyambar umpan udang kupas atau rebon adalah moment yang sulit untuk
dilupakan, namun yang tersulit saat mendapatkan ikan, ombak menghantam badan,
alhasil pakaian basah kuyup dan tidak jarang sampai tercebur ke laut.
Perolehan ikan akan aku sindik (memasukkan
senar melalui insang ke mulut ikan) yang kadang sampai lebih dari 30 ekor.
Mungkin inilah julukan yang diberikan
teman-teman masa kecil ku di Teluk Gong, saat pulang ke rumah, dan saat bertemu
dengan teman teman ku selalu memanggil, “anak laut, dapet ikan apa”? ucap
mereka, bahkan orang tua yang memang
sudah familier dengan ku selalu memanggil “anak laut” mungkin karena tidak ada teman-teman seumuran
ku yang berani pergi jauh dari Teluk Gong ke Muara Angke seorang diri hanya untuk
memancing ikan di Laut Teluk Jakarta saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar