Jumat, 29 September 2017

Anak Laut

Anak Laut


Mungkin ini julukan yang selalu aku ingat, bagaimana tidak setiap berkumpul bersama teman-teman, disekolah, dimadrasah, atau sedang bermain, sebutan untuk “anak laut” selalu terdengar, memang kadang jadi geli sendiri, nama sudah ada malah julukan yang lebih tenar.



hari itu hari minggu, seperti biasa aku menuju musholla untuk membantu mancari amal jariah, usia ku masih kelas 3 Sekolah Dasar Pejagalan 011 pagi, saat itu teman teman seusia ku memang waktunya untuk bermain, namun kesempatan dan kepedulian untuk membantu orang tua yang notebenenya sebagai ketua pengurus mushola pada saat itu.

"wan ini kotak amalnya, mau jalan kemana loe ?" itu yang sering disebut oleh pak Encung, salah satu ustadz yang mengkoordinir anak-anak untuk meminta bantuan dana untuk pembangunan mushola di pinggir empang Teluk Gong.
"ya paling ke sawah pak, atau ke pasar" kata ku. Sawah adalah nama tempat yang memang masih banyak sawah di sekitar RW 12 dan 13, sekarang tidak satu petak sawahpun di lokasi tersebut, malah sudah ada hotel dan apartemen Teluk Intan yang berdiri megah di persimpangan dua sungai, yang dahulu kami sebut "Kali Cagak" yang memang bentuknya seperti dua cagak kayu atau ketapel.

Biasanya kami berempat membawa dua kotak amal jariah, aku bersama Aep, anak pak Encung, dan satunya Endang bersama Heri. Saat mencari amal jariah jam 07.00 pagi dan berkeliling dari Rw 12 sampai RW 13 tidaklah terlalu lama hanya 1 sampai 2 jam berkeliling dan kembali lagi ke musholla sekitar jam 09.00 pagi.
setelah kembali dan menghitung isi kotak amal jariah yang selalu di kunci sebelum kami berangkat. uang yang didapatkan pun bervariasi mulai dari Rp 1000 rupiah sampai Rp 2000 rupiah, karena isi dalam kotak amal jariah terdiri dari uang Rp 5, Rp, 10, Rp, 50, dan Rp 100. namun kadang bisa mendapatkan uang Rp 500 rupiah dan itu pun jarang sekali aku dapatkan. 

Setiap berkeliling kami berdua akan mendapatkan upah sekitar Rp 100 sampai Rp 150 rupiah tergantung jumlah yang didapat. uang inilah yang akan aku jadikan modal untuk membeli senar dan pancing (mata kail) di jalan Raya Teluk Gong di toko yang pemiliknya yang biasa di panggil Mpek Ingus.

Toko Mpek Ingus satu satunya toko yang menjual peralatan pancing dan makanan ayam atau burung, di toko inilah kadang aku lihat reel atau “gulungan otomatis” sebutan kami saat itu, sedangkan ank seusia ku selalu mancing dengan alat seadanya, senar merk Damil atau Golden Fish biasanya yang kami pergunakan, dan digulung menggunakan kaleng bekas susu kental manis, atau kaleng bekas cat.
Dengan peralatan tersebut, setiap minggu aku selalu pergi ke laut TPI Muara Angke, saat itu TPI muara angke tidaklah seperti sekarang ini, dari jembatan patung perahu kita akan melihat langsung kapal-kapal ikan +3 atau diatau 3GT, berjejer rapi.

 Disekitar kali banyak orang atau anak-anak yang memancing, namun aku selalu pergi memancing di Batrean atau dam penahan gelombang, batrean lampu hijau adalah spot yang paling aku suka, dengan modal senar atau line dan di beri timah bulat atau kerucut serta rigging satu atau dua kumis adalah andalan untuk memancing dipinggiran beton.

Dengan umpan  rebon atau udang yang aku beli di TPI, lengkap sudah peralatan dan umpan untuk memancing di batrean. Jangan tanya sekarang, dahulu air di sekitaran Muara Angke sangalah bagus dan jernih, dengan suara deburan ombak atau alun yang menabrak beton pemecah gelombang, aku selalu merasakan kedamaian, bahkan ketika umpan aku sambar ikan, kegembiraan semakin menjadi, ikan tanda-tanda atau tompel ukuran 4 sampai 5 jari orang dewasa yang sering menyambar umpan udang kupas atau rebon adalah moment yang sulit untuk dilupakan, namun yang tersulit saat mendapatkan ikan, ombak menghantam badan, alhasil pakaian basah kuyup dan tidak jarang sampai tercebur ke laut.
Perolehan ikan akan aku sindik (memasukkan senar melalui insang ke mulut ikan) yang kadang sampai lebih dari 30 ekor.

Mungkin inilah julukan yang diberikan teman-teman masa kecil ku di Teluk Gong, saat pulang ke rumah, dan saat bertemu dengan teman teman ku selalu memanggil, “anak laut, dapet ikan apa”? ucap mereka,  bahkan orang tua yang memang sudah familier dengan ku selalu memanggil “anak laut”  mungkin karena tidak ada teman-teman seumuran ku yang berani pergi jauh dari Teluk Gong ke Muara Angke seorang diri hanya untuk memancing ikan di Laut Teluk Jakarta saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar